Jumat, 27 Juni 2014

DEMOKRASI VS MUSYAWARAH & TANYA JAWAB

  بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم 
Assalamualaikum wr wb

"



Sebagai mana telah kita sama ketahuai bahwa kesempatan  kali ini kita akan sama-sama untuk mengkaji  lewat dauroh ini tentang bagaimana islam itu memposisikan DEMOKRASI ,yaitu bagaimana  kita harus mampu untuk menjawab apakah islam itu DEMOKRASI atau tidak,jadi ini perlu diluruskan karena selama ini banyak hal-hal yang sebetulnya tidak perlu terjadi andaikan kita mau sedikit lebih mendalami  dan lebih memahami tentang apa itu islam sebagai agama kita dan sebagai suatu tatanan sistem kehidupan yang begitu sempurna ,nah baik lah untuk lebih jelasnya silahkan dengar langsung pemaparan beliau...Dan di akhiri dengan sesi tanya jawab bersama jemaah yang hadir...
Silahkan masuk ke Download area, untuk meng-unduh filenya,atau klo media nya suport streaming silahkan dengarkan langsung lewat Media Streaming.

Rabu, 04 Juni 2014

Ta'lim Bulanan 02/06/2014 Tentang FPI TV dan Komitmen FPI terhadap PILPRES

  بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم 
Assalamualaikum wr wb


Buat segenap jamaah yang tidak sempet menyimak ta'lim di markaz syariah pada tangal 02/06/2014 Silahkan,tidak ada Kajian ilmiah dari IB FPI seperti biasanya,tapi ada pembahasan-pembahasan seputar TV FPI yang segera mengudara,Dan bagaimana tanggapan FPI terhadap PILPRES nanti,insha allah.
Silahkan masuk ke Download area, untuk meng-unduh filenya,atau klo media nya suport streaming silahkan dengarkan langsung lewat Media Streaming.

Senin, 02 Juni 2014

Pesantren Ramadhan, 21 Hari Bersama Habib Rizieq Syihab

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamualaikum wr wb


INFO PENTING :

Pesantren Ramadhan, 21 Hari Bersama Habib Rizieq Syihab
02 June 2014
Benteng Sunni Asy'ari Syafi'i MARKAZ SYARIAH di Puncak Syariat - Mega Mendung - Bogor - Jawa Barat mengadakan PESANTREN RAMADHAN 1435 H bersama Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Syihab dkk, yang akan dimulai dari tanggal 1 s/d 21 Ramadhan 1435 H.

Materi : Aqidah Aswaja, Ulumul Qur'an, Mushtolah Hadits, Ushul Fiqih, Tsaqofah Islamiyah dan Ilmu Faro’idh.

Kegiatan : Shalat Berjama'ah, Ifthor dan Sahur Bersama, Dzikir, I'tikaf, Dhuha, Tilawah, Khath, Khithobah, Diskusi, Riyadhoh, Tadabbur Alam dan Tarawih Satu Setengah Juz tiap malam sehingga Khatam malam 21 Ramadhan.

Pendaftaran UMUM dan Penerimaan BANTUAN : H.Hasanuddin +62 812 9960399.

Pendaftaran Khusus FPI : KH. Ja'far Shiddiq +62 812 13672893.

Info lebih lanjut dapat menghubungi: Hb.Idrus Al-Habsyi +62 856 7237429 & Irwan Arsidi +62 853 33373323.

Syarat Peserta : Pria Muslim Aqil Baligh (Usia 15 th ke atas) dan Bisa baca Al-Qur'an.

Pembayaran INFAQ untuk Sertifikat, Buku, Jaket, Sarana dan Makan Minum selama 21 hari sebesar Rp 1.000.000.-. Bagi yang tidak mampu diupayakan Bea Siswa Ramadhan via Tes.

Segera daftarkan putera-putri anda, belajar Islam dengan suasana pegunungan. Tempat Terbatas.

'Afwan wa Syukron

Hak Asasi Manusia dan Wawasan Kebangsaan

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamualaikum wr wb



Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) seiring dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat dunia. Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern.
Dengan dalih HAM, para Kapitalis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di berbagai sektor ekonomi, tanpa peduli kerugian pihak lain. Dengan dalih HAM pula, negara-negara Kapitalis bersekutu memporak-porandakan berbagai negara yang tidak mereka sukai, secara politik mau pun ekonomi. Bahkan kini, dengan dalih HAM juga, berbagai perilaku anti agama ditumbuh-suburkan  tanpa peduli batasan ajaran agama.

Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi kaum Liberal dalam mengusung seluruh programnya. Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu memperjuangankan "penghalalan yang haram" dan "pembelaan yang bathil", seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba, begitu juga positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan sejenis. Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan "pengharaman yang halal" dan "penolakan yang haq", seperti penolakan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang Pornografi, bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan Perda-Perda yang bernuansakan Syariat Islam.
Karena itulah, pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan menjadi sangat penting, agar HAM tidak dijadikan senjata untuk merontokkan pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia.
HAM MENURUT BARAT
Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat murni merupakan hasil pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma agama.
Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama, sehingga norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam terminologi HAM. Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering dipahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh agama.
Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang diinginkannya, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat bahwa perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka penyimpangan sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya adalah HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama sekali. Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang tidak dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa dianggap sebagai HAM.
Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919, pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali. Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang sosialisasinya menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75 Milyar, sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250 juta lembar kertas berbentuk selebaran. 
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak  300 orang peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata, masyarakat AS justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun 1933 M, dan membebaskan miras sama sekali.
Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai belahan dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa depan, sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu di Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.
Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga manakala definisi HAM mereka berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa nafsu mereka, maka mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian atau ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi HAM.
HAM MENURUT ISLAM
Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Inti dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta wajib pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya.
Dengan demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM. Jadi, definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam terminologi HAM.
Berdasarkan definisi ini, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, namun harus dengan cara yang dibenarkan Syariat Islam, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya, namun tetap dalam batasan makanan dan minuman yang dihalalkan Syariat Islam.
Karenanya, dalam Islam ditegaskan bahwa perzinahan dan LGBT serta aneka penyimpangan sex lainnya, merupakan pelanggaran KAM, sehingga bukan merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya pelanggaran KAM, dan bukan merupakan HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Islam statis, tidak berubah-ubah. Artinya, apa-apa yang diharamkan atau dihalalkan Syariat Islam akan tetap berlaku hingga Hari Akhir. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai HAM mau pun KAM oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka dari dulu hingga kini, bahkan sampai masa yang akan datang, akan tetap menjadi HAM dan KAM.
Dengan demikian, keharaman khamar (miras) yang mencakup segala jenis minuman atau makanan yang memabukkan. Dari bahan apa pun dibuatnya, apakah dari kurma, anggur atau buah lainnya, termasuk dari bahan kimia sekali pun. Dan apa pun bentuknya, apakah cair, gas, asap, jeli, bubuk, pil, serta bentuk lainnya. Dan bagaimana pun cara mengkonsumsinya, apakah diminum, dimakan, dikunyah, dioleskan, disedot, atau pun disuntikkan. Dan apa pun namanya, apakah Alkohol, Arak, Bir, Rum, Vodka, Cognac, dan sebagainya. Dan berapa pun kadar penggunaannya, banyak atau pun sedikit. Serta kapan dan dimana pun minumnya, apakah di musim panas mau pun dingin, atau apakah di negeri Arab mau pun di negeri China atau di negeri lainnya. Maka sejak dulu hingga sekarang, bahkan sampai yang akan datang, khamar adalah haram, dan bukan merupakan HAM, serta sampai kapan pun tidak akan pernah menjadi HAM.
Jadi jelas, bahwa HAM dalam pandangan Islam memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga tidak akan pernah berbenturan dengan KAM.
ISLAM vs DEKLARASI HAM PBB
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 217 A (III) tentang Deklarasi Universal HAM. Secara umum resolusi tersebut cukup baik, karena didorong oleh semangat penegakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Namun karena dasar pemikiran resolusinya bersumber dari HAM Barat, maka sejumlah item yang diatur di dalamnya bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Pasal 16 resolusi tersebut adalah "Pasal Kawin Bebas", karena menjamin kebebasan bagi pria mau pun wanita yang sudah dewasa dengan hak yang sama untuk menikah tanpa batasan agama dan tanpa peran Wali Nikah. Padahal dalam pandangan umum Islam diharamkan "Kawin Beda Agama" dan "Kawin Tanpa Wali".
Dan Pasal 18 resolusi tersebut adalah "Pasal Murtad", karena menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk berganti agama apa pun, termasuk yang murtad dari Islam. Padahal dalam Islam setiap muslim diharamkan untuk keluar dari Islam, bahkan diancam Hukuman Mati.
Pasal 21 resolusi tersebut adalah "Pasal Demokrasi" karena mewajibkan setiap negara untuk menerapkan "Demokrasi" dengan memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada keinginan rakyat dan mewajibkan Pemilu di setiap negara. Padahal Islam bukan Demokrasi, dan Demokrasi bukan Islam.
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2200 A (XXI). Dalam Resolusi ini ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menekankan kembali tentang "Pasal Kawin Bebas" dan "Pasal Murtad" serta "Pasal Demokrasi", yaitu pada Pasal 1, 2, 23 dan 25. Sedang Pasal 6 kovenan ini masih mengakui dan membolehkan pemberlakuan Hukuman Mati, namun kemudian dibatalkan melalui Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk penghapusan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 44 / 128 tertanggal 15 Desember 1989. Padahal dalam Islam ada pemberlakuan Hukuman Mati dalam masalah Qishash mau pun Hudud, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan zani muhson serta murtad.
HAM ANAK dan WANITA
Majelis Umum PBB mengeluarkan sejumlah resolusi tentang Anak dan Wanita atas dasar semangat untuk memberi perlindungan terhadap anak dan wanita. Tentu ini merupakan suatu upaya terpuji yang harus didukung semua pihak. Namun sayang, lagi-lagi dasar pemikiran resolusinya bersumber dari HAM Barat, sehingga sering bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Salah satu resolusi PBB terkait Anak adalah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 44 / 25 tertanggal 20 November 1989. Pasal 20 resolusi ini secara eksplisit mengakui eksitensi Kafalah dalam Hukum Islam. Dan Pasal 24 resolusi ini secara rinci menjamin perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi sex dan pornografi. Ini merupakan hal yang sangat bagus dari resolusi ini. Hanya saja, resolusi ini tidak memberi batasan jelas tentang definisi anak.
Pasal 1 resolusi ini menetapkan bahwa permulaan usia dewasa seseorang, baik pria mau pun wanita, adalah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dasar penetapan usia dewasa dalam pasal ini  tidak jelas, dan semakin bias dengan pengecualian yang juga tidak memiliki indikator kedewasaan yang pasti. q
Dalam Islam dasar dan indikator kedewasaan sesorang sangat jelas dan pasti. Islam menetapkan bahwa kedewasaan bagi pria ditandai dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "mimpi" yang menyebabkan junub pertama atau usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Sedang kedewasaan bagi wanita ditandai juga dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "Haidh" yang pertama atau juga usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Penetapan ini sangat sederhana tapi jelas dan terang, sehingga mudah diidentifikasi oleh siapa pun.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34 / 180 tanggal 18 Desember 1979 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan disebutkan antara lain : Pelarangan kawin dan hamil di bawah usia 18 tahun dan Pelarangan Khitan bagi anak perempuan. Padahal dalam Islam, soal usia perkawinan kembali kepada ketetapan Islam tentang usia dewasa sebagaimana tersebut di atas, sehingga siapa telah dewasa maka ia berhak untuk kawin dan hamil sesuai aturan Syariat Islam.
Ada pun soal Pelarangan Khitan Perempuan, PBB mengambil sampel "Khitan Fir'aun" yang marak di Benua Afrika, yaitu "Pemotongan Alat Kelamin Wanita", lalu menggeneralisir bahwa semua bentuk khitan dilarang. Padahal "Khitan Islam" berbeda dengan "Khitan Fir'aun". Dalam Khitan Islam cukup hanya menghilangkan selaput (jaldah / colum / praeputium) yang menutupi klitoris, bukan melukai atau memotong klitorisnya, apalagi memotong alat kelaminnya. Bahkan dalam Islam sudah dianggap cukup hanya dengan melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris).
Selain itu, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ternyata juga ada soal perempuan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 3 kovenan tersebut adalah "Pasal Kesetaraan Gender", karena menjamin persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam semua aspek kehidupan, termasuk waris. Selain itu, masih ada Deklarasi dan Program Aksi di Wina pada tanggal 25 Juni 1993 tentang Hak Anak dan Wanita yang secara rinci menetapkan soal "Kesetaraan Gender". Padahal Islam tidak mengenal "Kesetaraan Gender", tapi Islam memperkenalkan "Keserasian Gender". Ada pun Hukum Waris dalam Islam sudah final.
AWASI DAN KOREKSI HAM PBB
Dengan fakta dan data tersebut di atas tentang kontroversialnya berbagai Resolusi HAM PBB, maka umat Islam di seluruh dunia berkewajiban untuk selalu melakukan pengawasan dan pengkajian terhadap setiap Resolusi HAM PBB. Apalagi disana masih banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Resolusi HAM PBB yang mesti disorot, dikaji dan dikoreksi agar tidak dijadikan senjata untuk membombardir Syariat Islam.
Tanggung jawab negara-negara Islam, khususnya yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan menjadi anggota PBB, tentu lebih besar lagi. Mereka mesti secara pro aktif mengikuti semua agenda sidang PBB, dan harus menyoroti secara cermat semua draf rencana keputusan PBB yang berpotensi menabrak ajaran agama Islam, serta wajib menolak segala keputusan PBB yang dipaksakan dan bertentangan dengan Syariat Islam. Jangan sebaliknya, negara-negara Islam di PBB hanya menjadi "skrup" untuk menguatkan visi misi PBB yang "sangat Barat". Apalagi sampai ikut mengkampanyekan resolusi PBB yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya, pada tahun 2006 di Indonesia terbit Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI No : HK. 00.07.1.31047 a tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan, dengan alasan menyakitkan dan membahayakan serta merusak organ reproduksi perempuan, sekaligus memenuhi tuntutan WHO sebagai Badan Kesehatan Dunia di PBB. SE tersebut disebar-luaskan ke semua RS dan Puskesmas, sehingga hampir semua RS menolak permintaan Khitan Anak Perempuan. Akibatnya, selama SE tersebut berlaku banyak anak perempuan umat Islam di Indonesia yang tidak dikhitan.
Lalu umat Islam Indonesia protes keras, karena Khitan dalam Islam bagi pria mau pun wanita adalah bagian dari Fithrah, sehingga merupakan Syiar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pun pada tahun 2008 mengeluarkan Fatwa No. 9A tentang Khitan tertanggal 7 Mei 2008, sekaligus merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan Fatwa tersebut sebagai acuan dalam masalah Khitan Perempuan.
Akhirnya, pada tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 / MENKES / PER / XI / 2010 tentang Sunat Perempuan yang mencabut SE Larangan Sunat Perempuan, sekaligus menerima rekomendasi MUI dengan menyetujui pelaksanaan Sunat Perempuan. Namun sayangnya Peraturan Menkes RI tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik secara meluas, sehingga sampai saat ini masih ada sejumlah RS yang menolak Khitan Anak Perempuan.
Selain negara-negara Islam yang harus pro aktif mengawasi berbagai resolusi PBB, maka umat Islam pun harus pro aktif juga mengawasinya. Apalagi secara perorangan atau organisasi pun diperkenankan untuk menyampaikan laporan ke PBB, baik usul dan saran mau pun kritik dan protes. Untuk itu ada sejumlah alamat yang bisa digunakan sesuai dengan bidang laporannya. Khusus masalah HAM bisa dialamatkan ke : Centre for Human Rights - United Nations Office of Geneva, 1211 Geneva 10, Switzerland.
HAM INDONESIA
Fakta sejarah membuktikan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan di atas muka Bumi, lebih dulu ada dari pada Piagam PBB yang lahir tanggal 24 Oktober 1945. Artinya, Indonesia lebih dulu memiliki Deklarasi Universal HAM ketimbang PBB.
Namun demikian, aturan HAM secara rinci di Indonesia baru lahir pasca Reformasi 1998 melalui Amandemen UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28 dan Pasal 28 huruf a s/d j tentang HAM. Lalu dilanjutkan dengan lahirnya UU No. 33 Th. 1999 tentang HAM yang sekaligus menjadi dasar pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang disingkat Komnas HAM.
Penegakan HAM di Indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung. Namun sayang sejuta sayang, pendefinisian HAM dalam UUD dan UU HAM yang ada masih merujuk kepada definisi HAM Barat, sehingga pada prakteknya menjadi bertolak belakang dengan pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia. Buktinya, Komnas HAM di Indonesia banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti Pancasila dan UUD 1945 sebagai dua pilar utama negara.
Pertama, Pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai ajaran Islam. Padahal sesuai dengan UU Penodaan Agama yang tertuang dalam Penpres No.1 / 1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP Pasal 156a tentang larangan Penodaan Agama, mestinya semua aliran sesat yang telah menodai dan menistakan agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi dan dilegitimasi dengan pembelaan hingga tingkat internasional. Apalagi sesuai Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) Pasal 18 ayat 3 yang memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan hukum yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak asasi dan kebebasan orang lain. Ditambah lagi dengan putusan Sidang PBB di Jenewa - Swiss  pada tanggal 26 Maret 2009 bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.
Kedua, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu terlihat dalam pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga yang merupakan icon LGBT Internasional. Bahkan Komnas HAM pernah terlibat langsung dalam rangkaian acara "Kontes Waria" di Hotel Bumi Wiyata Jl. Margonda Raya, Depok - Jawa Barat, pada tanggal 30 April 2010. Dan kini sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui para Aktivis LGBT ikut Fit and Proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota Komnas HAM. Padahal, LGBT itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan bertentangan juga dengan empat pilar utama negara dan bangsa Indonesia, yaitu : Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Ketiga, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan Anti Perda Syariah dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih menolak diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas serta pelestarian budaya dan adat istiadat. Padahal, pemberlakuan Syariat Islam hanya kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada minoritas non muslim, sehingga tidak ada itu tindak diskriminatif yang merugikan kalangan non muslim. Bahkan manakala mayoritas diwajibkan tunduk dan patuh kepada Syariat Islam, justru minoritas akan terlindungi, karena Syariat Islam adalah Syariat Rahmat untuk semesta alam. Soal adat dan budaya, Islam selalu memberi ruang pelestarian dan pengembangannya selama tidak melanggar norma agama. Ada pun yang melanggar mesti diluruskan, seperti adat telanjang tanpa pakaian di depan umum, itu bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan. Nah, keterbelakangan itu harus dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan agar tetap primitif.
Fakta dan Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa paradigma Komnas HAM murni merupakan paradigma HAM Barat. Bahkan ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa Komnas HAM memang sudah jadi Antek Barat, antara lain adalah tingginya tingkat pembelaan Komnas HAM terhadap "kasus-kasus kecil" yang dialami minoritas seperti kasus HKBP di Ciketing Bekasi dan Gereja Yasmin di Bogor, namun terhadap "kasus-kasus besar" seperti pembantaian ribuan umat Islam dan pembakaran ratusan Masjid di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, ternyata Komnas HAM tuli, bisu dan buta : "Shummun Bukmun 'Umyun".
KESIMPULAN
Definisi HAM yang benar adalah definisi yang diberikan Islam, yaitu bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim terbanyak dan terbesar di dunia yang memiliki empat pilar negara yang berjiwakan Piagam Jakarta dengan inti Ketuhanan Yang Maha Esa dan Syariat Islam, maka tidak ada pilihan lain dalam soal HAM, kecuali hanya boleh mendefinisikan HAM sesuai dengan definisi Islam.
Karenanya, ke depan para Aktivis Islam dari berbagai Ormas Islam harus mampu merebut semua posisi keanggotaan di Komnas HAM, sehingga mampu menjadikan HAM dan KAM sebagai ruh dan jiwa dalam semua program dan aktivitas Komnas HAM.
Demikianlah, urgensi dan importensi pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan Indonesia, agar sejalan dengan pilar-pilar negara dan kebangsaan lainnya yang telah dipaparkan selama ini dalam kolom Wawasan Kebangsaan di Suara Islam ini. Semoga bisa menambah wawasan dan memberi wacana baru yang menyegarkan serta membuka jalan kebenaran.
Hasbunallaahu Wa Ni'mal Wakiil, Ni'mal Maulaa Wa Ni'man Nashiir. Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata illaa Billaahil ‘Alyyil adzim. [slm/fpi]

Sumber : Salam-Online.COM











Wawasan Kebangsaan: Keserasian Gender (Bag.2-habis)

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamualaikum wr wb


DRAFT RUU - KKG
Draft RUU - KKG yang disusun oleh Timja sejak 24 Agustus 2011, kini sengaja disebar-luaskan di tengah masyarakat. Entah untuk memancing emosi umat Islam, atau sekedar politik pengalihan, atau justru bagian strategi pengkondisian agar RUU - KKG tersebut bisa berhasil dijadikan Undang-Undang dengan tanpa hambatan. Apa pun alasannya, umat Islam wajib waspada !
Melihat dan memperhatikan Draft RUU - KKG versi Timja yang beredar di masyarakat, ada sejumlah sorotan penting dan wajib segera disikapi oleh umat Islam, karena bertentangan dengan ajaran Islam, antara lain :

Pertama, dalam Bab I pasal 1 ayat 1 tentang pendefinisian "Gender" yang menjadikan pembedaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan sebagai "hasil konstruksi sosial budaya" yang bersifat "tidak tetap" dan "dapat dipertukarkan". Padahal, pembedaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam merupakan ketentuan Allah SWT dan Rasulullah SAW yang bersifat tetap tidak berubah dan tidak perlu dipertukarkan, karena sudah sempurna dan adil.
Kedua, dalam Bab I pasal 1 ayat 2 tentang pendefinisian "Kesetaraan Gender" yang mencantumkan penyamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan. Penyetaraan dan penyamaan macam ini merupakan pemaksaan dan penindasan gaya baru terhadap kaum perempuan. Apalagi hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat mustahil, karena adanya perbedaan biologis dan psikologis antara perempuan dan laki-laki merupakan suatu keniscayaan, yang secara otomatis menuntut pembedaan peran dan tanggung-jawab sesuai dengan karakter dasarnya masing-masing.
Ketiga, dalam Bab I pasal 1 ayat 3 tentang pendefinisian "Keadilan Gender" yang menegaskan persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. Lucu, "Kesetaraan Gender" yang memaksa kaum perempuan untuk mengambil peran dan tanggung-jawab kaum pria yang bertentangan dengan kodrat biologis dan psikologisnya, kok bisanya disandingkan dengan "Keadilan Gender" ?! Padahal, justru konsep "Kesetaraan Gender" itu sendiri sudah meruntuhkan dan memporak-porandakan norma-norma "keadilan" dari fondasinya, sehingga mestinya "Kesetaraan Gender" tersebut disandingkan dengan "Ketidak-adilan Gender".  Karenanya, "Keadilan Gender" hanya boleh disandingkan dengan "Keserasian Gender" yang menempatkan dan memperlakukan perempuan dan laki-laki secara adil sesuai kodratnya masing-masing berdasarkan ketentuan wahyu Allah Yang Maha Adil.
Keempat, dalam Bab I pasal 1 ayat 4 tentang pendefinisian "Diskriminasi" yang diartikan sebagai segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu. Padahal, pembedaan dan pembatasan tidak bisa disamakan dengan pengucilan dan kekerasan. Pembedaan dan pembatasan yang datang dari ajaran agama Islam adalah kewajiban agama, bukan kejahatan. Peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan wajib dibedakan sebagaimana diatur oleh ajaran Islam. Baik perempuan mau pun laki-laki harus dibatasi peran dan tanggung-jawabnya masing-masing agar tercipta keharmonisan hidup, sebagaimana Islam membatasinya.
Kelima, dalam Bab I pasal 1 ayat 5 s/d 12 tentang strategi, perangkat dan infrastruktur serta anggaran untuk mensukseskan program "Kesetaraan Gender" secara nasional di Indonesia. Artinya, seluruh perangkat negara Indonesia dengan menggunakan uang rakyatnya, harus dilibatkan dalam program yang nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai adat dan budaya mana pun, serta menabrak ajaran semua agama, khususnya Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.
Keenam, dalam Bab II pasal 2 dan 3 tentang Asas dan Tujuan menyebutkan dasar-dasar Kesetaraan dan Keadilan Gender, yaitu : kemanusiaan, persamaan substantif, non-diskriminasi, manfaat, partisipatif, transparansi dan akuntabilitas. Perhatikan dengan baik bahwa agama tidak dijadikan dasar sama sekali ! Keadilan macam apa yang diperjuangkan tanpa ajaran agama ?! Itulah karenanya, KKG dalam RUU tersebut semestinya merupakan singkatan dari "Kesetaraan dan Ketidak-adilan Gender" !!!
Ketujuh, dalam Bab III Bagian Pertama banyak pasal "mubadzdzir" bahkan "haram" karena sudah diatur dalam Undang-Undang lain yang jauh lebih baik. Pasal 4 s/d 13 sudah diatur dalam UU Politik, Keimigrasian, Sisdiknas, Komunikasi dan Informasi, Ketenaga-kerjaan, Kesehatan, Perekonomian, Peradilan, Perkawinan dan KUHP.  Contoh kebobrokan bagian ini, misalnya dalam pasal 12 ada ketentuan bahwa "Setiap orang berhak" antara lain : "(a) memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas" dan "(e) atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak". Kedua poin dalam pasal ini sangat berbahaya, karena pasal 12 a memberi kebebasan kawin beda agama secara mutlak, bahkan pasal ini tidak menjelaskan tentang "siapa memilih siapa", padahal dalam dunia Homosexual telah terjadi laki memilih laki sebagai pasangan suami-isteri, dan dalam dunia Lesbianisme sudah berlangsung perempuan memilih perempuan sebagai pasangan suami-isteri. Sedang pasal 12 e memberi "hak perwalian" kepada perempuan dan laki-laki, sehingga ke depannya perempuan pun boleh menjadi Wali Nikah. Ini bertentangan dengan UU Perkawinan yang sudah ada selama ini sebagai bagian dari KHI.
Kedelapan, dalam Bab III Bagian Kedua yang berisi pasal 14 dan 15 tentang kewajiban Negara dan Warga Negara dalam mensukseskan program "Kesetaraan Gender". Disana ada tercantum dua poin penting untuk disoroti dari sekian poin yang tertera, yaitu : Pertama, tentang kewajiban "penghapusan diskriminasi dalam bidang hukum", yang tentunya ke depan akan sangat bisa digunakan sebagai dasar perundang-undangan untuk menolak penerapan Hukum Islam bagi umat Islam itu sendiri, seperti : membatalkan Hukum Waris Islam yang menetapkan untuk anak laki dua bagian anak perempuan, dan memberikan Hak Thalaq kepada isteri sebagaimana yang dimiliki suami, bahkan pembolehan bagi perempuan untuk polyandri (bersuami lebih dari satu dalam satu waktu)  sebagaimana halalnya bagi laki-laki untuk poligami (beristeri lebih dari satu dalam satu waktu), atau sebaliknya pengharaman poligami bagi pria sebagaimana pengharaman polyandri bagi wanita. Kedua, tentang kewajiban "perubahan perilaku sosial dan budaya yang tidak mendukung Kesetaraan Gender", artinya di hadapan Kesetaraan Gender tidak ada istilah "Kearifan Lokal" yaitu suatu istilah yang selama ini selalu mereka gunakan untuk menentang dan menolak penerapan Syariat Islam.
Kesembilan, dari Bab IV s/d Bab VI yang berisikan 50 pasal yaitu dari pasal 16 s/d 65, boleh disebut sebagai PASAL FULUS, karena isinya tentang membangun strategi, perangkat dan infrastruktur secara nasional dari pusat sampai ke daerah yang melibatkan semua instansi dan lembaga negara dengan anggaran pembiayaan dari UANG NEGARA. Ini menjadi pintu baru bagi "tikus-tikus negara" untuk menggerogoti uang negara secara "legal" sesuai justifikasi yang diberikan Undang-Undang yang dibuat tersebut. Dengan kata lain, RUU - KKG merupakan justifikasi dan legalisasi bagi "pemborosan uang negara" sekaligus menjadi "pembuka pintu korupsi" secara nasional.
Kesepuluh, dari Bab VII s/d Bab XI yang berisikan 14 pasal yaitu dari pasal 66 s/d 79, ada dua pasal yang sangat berbahaya, yakni : Pertama, pasal 67 yang menyatakan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan / atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu". Kedua, pasal 70 yang berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan / atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama ......(...........) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.......(...........)". Dalam Draft RUU - KKG masa penjara dan jumlah denda masih dikosongkan. Ini adalah "Pasal Kriminalisasi" ajaran Islam yang mengakui adanya pembedaan dan pembatasan peran serta tanggung-jawab antara pria dan wanita sesuai dengan aspek biologis dan psikologisnya masing-masing secara adil berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
AWAS, BAHAYA MENGANCAM !
Dengan demikian, jika Draft RUU - KKG sebagaimana diuraikan di atas dijadikan Undang-Undang dan diberlakukan di Indonesia, maka segenap umat Islam, pria mau pun wanita, ayah mau pun ibu, kakek mau pun nenek, Ustadz mau pun Ustadzah, Kyai mau pun Nyai, harus siap dipenjara dan didenda jika melakukan perbuatan yang bertentangan dengan "Kesetaraan Gender", walau pun dibenarkan Syariat Islam.
Misalnya : menolak homosexual dan lesbianisme, memberi warisan kepada anak perempuan separuh dari bagian anak laki, menyuruh wanita pakai jilbab, mengaqiqahkan anak perempuan dengan seekor kambing sedang anak laki dengan dua ekor kambing, melarang anak wanita kawin beda agama, melarang anak wanita pacaran, melarang anak wanita keluar malam, melarang wanita adzan di Masjid, melarang wanita Khathib Jum'at, menjadikan suami sebagai kepala keluarga, tidak mengizinkan isteri bekerja di luar rumah, menyuruh isteri hamil, mendesak isteri menyusui anak, meniduri isteri saat isteri tidak mau, menjewer atau menyentil telinga anak wanita dalam memberi pelajaran, apalagi memukul walau dengan "pukulan sayang" yang tidak melukai di tempat yang dibenarkan syar'i sebagaimana diajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Semua itu dikatagorikan "kejahatan pidana" atau "kriminal" dengan sanksi hukuman penjara dan denda.
Jelaslah persoalannya, bahwa Draft RUU - KKG menjadi ancaman serius bahkan sangat berbahaya bagi umat Islam, karena Draft RUU - KKG tidak menjadikan agama sebagai dasar, bahkan secara jahat dan licik melakukan "kriminalisasi ajaran agama".
Jadi, RUU - KKG bukan untuk melindungi wanita, apalagi mengangkat derajat harkat dan martabat kaum perempuan. Justru, RUU - KKG menjebak kaum ibu agar tidak bisa lagi mengatur anak wanitanya. Di samping itu, RUU KKG membuka peluang penelantaran anak, baik laki mau pun perempuan, karena mendorong kaum wanita untuk aktif di ruang publik, sehingga meninggalkan "karir termulianya" sebagai "Ibu" bagi anak-anaknya di rumah yang selalu membutuhkan sentuhan dan kelembutan cinta serta kasih sayangnya.
Wanita Indonesia tidak butuh aturan yang justru merong-rong harkat dan martabatnya. Wanita Indonesia membutuhkan aturan yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya sebagai wanita mulia. Karenanya, RUU - KKG harus dilawan habis-habisan oleh seluruh umat Islam dan segenap bangsa Indonesia. Pemerintah mau pun DPR RI wajib  menolak pembahasan RUU - KKG tersebut.
Pemerintah dan DPR RI jangan membuang waktu untuk pembahasan hal yang tidak berguna, apalagi yang merusak. Menyangkut wanita, buat saja aturan yang memberi hak cuti bagi wanita pekerja yang haid, hamil dan melahirkan. Atau buat aturan cuti ’Iddah bagi wanita yang diceraikan/ditinggal mati suami. Atau buat aturan  yang melarang penahanan terdakwa / terpidana wanita yang sedang hamil dan menyusui hingga selesai masa hamil dan menyusuinya. Atau buat aturan perlakuan istimewa bagi wanita di kendaraan umum padat penumpang seperti bus dan kereta agar terhindar dari pelecehan. Atau buat aturan yang melarang wanita mengumbar aurat agar tidak jadi korban perkosaan. Atau buat aturan perlindungan wanita pembantu rumah tangga yang rentan jadi korban penindasan dan pelecehan majikan, baik di dalam mau di luar negeri. Dan lain sebagainya dari berbagai aturan yang betul-betul manfaat bagi wanita Indonesia. Camkan !
KESIMPULAN
Kesimpulannya, Konsep "Kesetaraan Gender" tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang dikenal agamis, karena tidak ada satu agama pun yang menyetarakan pria dan wanita dalam peran dan tanggung-jawab. Semua agama memposisikan pria dan wanita berbeda, bahkan menjadikan perbedaan kedua jenis ini sebagai suatu keniscayaan, karena memang faktanya bahwa biologis dan psikologis kedua jenis ini berbeda. Apalagi konsep "Bias Gender" sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena konsep ini merupakan konsep zolim yang memposisikan dan memperlakukan wanita dengan sangat tidak adil.
Ada pun konsep "Keserasian Gender" merupakan konsep yang paling tepat karena berdiri atas dasar keadilan dalam perbedaan peran dan tanggung-jawab yang ditetapkan oleh wahyu Allah SWT yang Maha Mengetahui tentang segala kebutuhan tiap jenis ciptaan-Nya. Adil tidak berarti sama, tapi adil itu adalah menempatkan dan memperlakukan sesuatu pada tempat dan dengan cara semestinya sesuai dengan aturan Allah SWT Yang Maha Adil.
"Keserasian Gender" sebagai cerminan dari "Keadilan Gender" dalam makna yang benar merupakan bagian dari Wawasan Kebangsaan Indonesia yang mesti ditumbuhkan-kembangkan, karena Keserasian Gender adalah bagian dari Budi Pekerti yang mulia lagi luhur, bahkan merupakan bagian dari Akhlaq Karimah. Syair indah mengatakan :
                                               Tegaknya rumah karena sendi
                                                            Runtuh sendi rumah binasa
                                               Tegaknya bangsa karena budi
                                                           Hilang budi bangsa binasa
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari segala bentuk makar kaum Kafir Liberal yang semakin hari semakin menjadi. Kepada segenap umat Islam dan seluruh komponen bangsa Indonesia harus selalu mewaspadai setiap gerak-gerik Setan Liberal sebagai virus paling berbahaya yang terus menerus menggerogoti tiang agama dan pilar bangsa. Stop perpecahan ! Ayo bersatu ! Jangan saling mengkafirkan sesama muslim karena persoalan Furu' !  Satukan kekuatan untuk ganyang musuh besar bersama kita, yaitu: LIBERAL!
Allahu Akbar !!!
Penulis: Habib Muhammad Rizieq, MA
Sumber: Suara-Islam.com

Wawasan Kebangsaan: Keserasian Gender (Bag.1)

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamualaikum wr wb


Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti "jenis kelamin", kemudian menjadi sebuah istilah yang bermakna pembedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan. Namun belakangan, Gender tidak lagi dibatasi pada persoalan sex (jenis kelamin) terkait maskulin dan feminin dalam tataran heterosexual, tapi juga mencakup jenis Gender ketiga yang bersifat cair dan berubah-ubah, serta senang memakai pakaian Gender lain dalam tataran homosexual atau lesbianisme.

Istilah "Bias Gender" biasa digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi pembedaan yang merugikan kaum wanita dan menguntungkan kaum pria sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Sedang istilah "Kesetaraan Gender" biasa digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi yang posisi peran dan tanggung-jawab wanita dan pria setara tidak berbeda dalam semua hal.
Kini, dalam konteks Wawasan Kebangsaan, penulis mencoba menawarkan istilah "Keserasian Gender" untuk menunjukkan suatu kondisi keharmonisan dalam perbedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan. Ini penting, karena Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia memiliki aturan yang komprehensif tentang pembagian peran dan tanggung-jawab antara pria dan wanita sesuai dengan aspek biologis dan psikologisnya masing-masing secara adil. Dengan "Keserasian Gender" akan terwujud keharmonisan hubungan antara jenis pria dan wanita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur. Insya Allah !
ISLAM DAN GENDER
Di masa jahiliyyah, hampir seluruh bagian dunia menempatkan wanita sebagai jenis hina, makhluk rendah, manusia kelas dua, pelengkap kehidupan, barang hiburan, pemuas hawa nafsu, sumber dari segala dosa dan budak rumah tangga. Wanita menjadi korban ketidak-adilan dan mangsa penindasaan selama berabad-abad.
Di Jazirah Arab, mengubur hidup-hidup anak perempuan menjadi tradisi yang dibanggakan. Lalu Rasulullah Muhammad SAW datang menyinari dunia dengan Risalah Islam yang membela wanita dari ketidak-adilan dan menyelamatkannya dari penindasan, bahkan mengangkat derajatnya ke tingkat yang sangat terhormat dan memberi perlindungan tingkat tinggi, serta memperlakukannya dengan seadil-adilnya.
Islam tidak melarang kaum wanita untuk berkarir dan berprestasi dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan tekhnologi, selama terpenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak dilanggar batasan syariatnya. Bahkan dalam Islam, wanita diwajibkan untuk menuntut ilmu sebagaimana diwajibkannya kaum pria. Dalam ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, wanita dan pria punya kewajiban yang sama, serta mendapat janji dan ancaman yang sama pula. Ada pun dalam pembedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan dalam harmoni kehidupan, maka Islam menetapkan aturan yang sangat adil sesuai  aspek biologis dan psikologis masing-masing jenis kelamin, untuk mewujudkan "Keserasian Gender" yang mencerminkan "Keadilan Gender" dalam makna yang benar.
Dalam Islam, wanita makhluk mulia dan terhormat yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi, bahkan memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki kaum pria. Islam menjadikan penghormatan kepada ibu tiga kali lebih utama dari pada penghormatan kepada ayah. Islam menempatkan surga di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki ayah. Islam mewajibkan pria yang membayar mahar perkawinan kepada wanita, tidak sebaliknya. Islam mewajibkan pria untuk memberi perlindungan kepada wanita, bukan sebaliknya. Islam mengutamakan pihak wanita dari pada pihak pria dalam hak hadhonah (pemeliharaan anak) saat terjadi perceraian. Islam membebankan pria dengan kewajiban berat yang tidak dibebankan kepada wanita, seperti mencari nafkah, menegakkan shalat berjama'ah di masjid, melaksanakan shalat Jum'at, memimpin negara dan jihad.
Bahkan dalam sejumlah hal yang tidak sedikit, Islam lebih memperhatikan wanita dari pada pria. Misalnya, dalam pembagian warisan, ana laki mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan dari warisan ayahnya yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa si anak laki berkewajiban untuk menanggung nafkah ibu dan saudari-saudarinya yang ditinggal sang ayah, sedang si anak perempuan tidak diwajibkan yang demikian itu. Secara matematis, bagian warisan anak laki dalam waktu tertentu akan habis terpakai untuk pembiayaan keluarga, sedang bagian warisan anak perempuan akan tetap tidak berkurang.
Misal lainnya, dalam soal pemberian (hadiah / hibah), Islam menganjurkan penyama-rataan bagian antara anak laki dan perempuan, bahkan jika harus dibedakan maka dianjurkan bagian anak perempuan yang dilebihkan dari pada bagian anak laki, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani rhm dan Imam Al-Baihaqi rhm tentang sabda Nabi Muhammad SAW yang bunyi terjemahannya : "Samakanlah di antara anak-anakmu dalam pemberian. Andaikata aku melebihkan bagian seseorang (dari anak-anakku), niscaya aku lebihkan bagian anak perempuan." Disana masih banyak lagi dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan keistimewaan wanita yang tidak dimiliki pria. Silakan menelusurinya bagi yang ingin tahu lebih banyak.
Selain itu, Islam memberi wanita "cuti rutin" dari shalat tanpa qodho dan puasa dengan qodho saat haidh atau nifas. Tentu ini hal yang sangat istimewa buat kaum wanita, sebagai rahmat dari Allah SWT untuk memudahkan kehidupan mereka dan meringankan bebannya.  Betapa Islam "memanjakan" kaum wanita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Subhanallah !
BARAT DAN GENDER
Kaum wanita di Barat mengalami nasib tragis berupa penindasan berkepenjangan akibat jenis kelamin. Dari zaman Yunani kuno hingga zaman modern sekali pun, wanita divonis sebagai manusia cacat, bahkan dianggap sebagai makhluq setengah manusia, sehingga hanya menjadi objek perlakuan sewenang-wenang dari kaum pria yang merasa sebagai manusia utuh dan sempurna. Sementara agama yang mereka anut tidak memberikan solusi sejati terhadap persoalan tersebut.
Akumulatif kekecewaan dan sakit hati kaum wanita di Barat telah melahirkan Gerakan Feminisme yang merupakan pemberontakan wanita Barat terhadap kezaliman kaum prianya. Sekitar tahun 1970-an, Gerakan Feminisme di London melahirkan tuntutan "Gender Equatity" (Kesetaraan Gender), yaitu tuntutan penyetaraan serta penyamaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan, mulai dari persoalan individu, keluarga hingga urusan negara.
Hingga kini pun, Barat tidak punya solusi bagus untuk mengatasi persoalan "Bias Gender" yang terus berlangsung hingga saat ini. Sekali pun di Barat telah terjadi Gerakan Feminisme secara besar-besaran dalam tuntutan "Kesetaraan Gender", namun pada prakteknya tetap saja Barat menempatkan wanita hanya sebagai "Budak Syahwat". Lihat saja, dengan dalih modernitas, kecantikan wanita difestivalkan, dan keindahan tubuhnya dipertontonkan, serta goyang erotisnya diperlombakan. Bahkan tarian wanita telanjang (striptis) dijadikan objek wisata resmi, dan pelacuran pun dijadikan profesi kerja legal bagi perempuan. Semua itu fakta tak terpungkiri, bahwa kaum lelaki di Barat tetap dijadikan nomor satu sebagai "pembeli" dan "pemakai", sedang kaum perempuan tetap dijadikan nomor dua sebagai objek yang "dibeli" dan "dipakai".
Dengan demikian, latar belakang persoalan Gender di tengah masyarakat Barat dan penanganannya tidak sama dengan apa yang terjadi dalam sejarah Islam. Islam tidak pernah punya persoalan dengan "Gender". Dalam Islam tidak ada "Bias Gender", sehingga Islam tidak butuh "Kesetaraan Gender". Islam telah mengajarkan dan mengamalkan konsep "Keserasian Gender" yang sangat sempurna dan menakjubkan sejak hampir lima belas abad lalu, melalui praktek kehidupan Rasulullah SAW dan Ahlul Bait serta Para Shahabatnya yang mulia, rodhiyallahu 'anhum. Alhamdulillah !
INDONESIA DAN GENDER
Para pegiat Kesetaraan Gender di Indonesia berasal dari kalangan Liberal, karena Kesetaraan Gender sebagai salah satu jargon Feminisme memang lahir dari rahim Liberal. Gerombolan Liberal sudah sejak lama melakukan gerakan sistematis dan strategis untuk menggolkan proyek "Kesetaraan Gender". Di tahun 1980, mereka berhasil menyusup dan mempengaruhi Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut menandatangani Konvensi Kesetaraan Gender yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kopenhagen. Konvensi tersebut dikenal sebagai "Convention on The Elimination of all forms of Discrimination Againts Women" yang disingkat dengan CEDAW.
Lalu di tahun 2000, mereka sukses mendorong Pemerintah RI untuk menerbitkan Instruksi Presiden No.9 Th. 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan. Dengan Inpres ini, Pemerintah RI ingin menunjukkan keseriusan komitmennya terhadap kesepakatan CEDAW yang pernah ditandai-tanganinya.
Dan di sekitar tahun 2006, melalui salah seorang pegiat Kesetaraan Gender yang aktiv di Pengarus Utamaan Gender - Departemen Agama RI, mereka melemparkan Draft Counter Legal - Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berisi usulan perubahan pasal-pasal perkawinan dan warisan dalam KHI, seperti larangan poligami, pemberian hak thalaq kepada wanita, penyamaan bagian waris anak laki dan perempuan, pemberlakun masa 'iddah bagi pria, dan sebagainya.
Selanjutnya di tahun 2011, para pegiat Kesetaraan Gender di Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta LSM-LSM LIBERAL lainnya, telah berhasil mendorong pembentukan Tim Kerja (Timja) yang mengatas-namakan Kaukus Perempuan di DPR RI, untuk menyusun Draft Rancangan - Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender ( RUU - KKG ). Konon kabarnya, Timja tersebut telah melakukan studi banding ke Eropa dengan biaya milyaran rupiah yang berasal dari uang anggaran negara. Kini, rencananya DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menggodok lebih lanjut RUU tersebut. Prosesnya memang masih panjang, tapi langkah untuk melahirkan UU KKG makin nyata, konkrit dan jelas.
Sebenarnya, Indonesia tidak punya persoalan dengan Gender, karena mayoritas bangsa Indonesia menganut ajaran Islam yang tidak "Bias Gender". Dan fakta lapangan pun dengan terang benderang menunjukkan bahwa wanita Indonesia memperoleh kebebasan berkarir dan berprestasi di segala bidang dengan jaminan perundang-undangan yang senantiasa terikat dengan norma-norma suci agama dan nilai-nilai luhur budaya. Lihat saja, wanita Indonesia ada di segala bidang, mulai dari sebagai ibu rumah tangga, guru, petani, nelayan, buruh pabrik, sarjana, cendikiawan, dokter, insinyur, ekonom, saintis, politisi, pejabat, menteri, anggota dewan, pimpinan partai, wartawan, kolumnis, presenter, motivator, pedagang eceran, pengusaha berkelas, bankir, direktur, komisaris, polisi, tentara, pengacara, jaksa, hakim, pramugari, pilot hingga supir sekali pun, dan lain sebagainya.
Karenanya, Indonesia tidak butuh UU KKG atau UU sejenisnya yang bertentangan dengan Syariat Islam yang menjadi ruh sebenarnya dari pilar-pilar kebangsaan Indonesia.
Penulis: Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA
Sumber: Suara-Islam.com

Minggu, 01 Juni 2014

" TERTIB AKSI FPI "

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Assalamualaikum wr wb

Bagi yang belum tau tentang bagaimana pergerakan organisasi islam FPI ini silahkan disimak audio berikut ini,yang di ambil dari beberapa ceramah,dialog,dan di beberapa orasi beliau.semoga kita selalu dalam perlindungan allah swt.
 Silahkan masuk ke Download area, untuk meng-unduh filenya,atau klo media nya suport streaming silahkan dengarkan langsung lewat Media Streaming.