Assalamualaikum wr wb
Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia
(HAM) seiring dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul
sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat
dunia. Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk
membebaskan umat manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan
justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme
Modern.
Dengan dalih HAM, para Kapitalis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di
berbagai sektor ekonomi, tanpa peduli kerugian pihak lain. Dengan dalih
HAM pula, negara-negara Kapitalis bersekutu memporak-porandakan
berbagai negara yang tidak mereka sukai, secara politik mau pun ekonomi.
Bahkan kini, dengan dalih HAM juga, berbagai perilaku anti agama
ditumbuh-suburkan tanpa peduli batasan ajaran agama.
Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi kaum Liberal dalam
mengusung seluruh programnya. Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu
memperjuangankan "penghalalan yang haram" dan "pembelaan yang bathil",
seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba, begitu juga
positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan
sejenis. Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan
"pengharaman yang halal" dan "penolakan yang haq", seperti penolakan
terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang Pornografi,
bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan Perda-Perda yang
bernuansakan Syariat Islam.
Karena itulah, pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan menjadi
sangat penting, agar HAM tidak dijadikan senjata untuk merontokkan
pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia.
HAM MENURUT BARAT
Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak lahir secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan
ajaran agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat murni merupakan hasil
pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma
agama.
Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama,
sehingga norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting
dalam terminologi HAM. Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering
dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering dipahami sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering
digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh
agama.
Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang
diinginkannya, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum
apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat bahwa perzinahan dan
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka penyimpangan
sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan
minuman haram, semuanya adalah HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah
tergantung penilaian akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan
kondisi serta kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama sekali.
Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian
hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu
yang tidak dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa
dianggap sebagai HAM.
Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat
dianggap sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada
tahun 1919, pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS
menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali. Saat itu
pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang sosialisasinya
menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75
Milyar, sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250
juta lembar kertas berbentuk selebaran.
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati
sebanyak 300 orang peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335
orang. Tapi ternyata, masyarakat AS justru makin hobby meminum miras,
yang pada akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun
1933 M, dan membebaskan miras sama sekali.
Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di
berbagai belahan dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba dianggap
sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa depan, sebagaimana Kasus Miras.
Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu di
Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik
Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.
Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak memiliki kaidah dan
batasan yang jelas, sehingga manakala definisi HAM mereka berbenturan
dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa nafsu mereka, maka
mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian atau
ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi HAM.
HAM MENURUT ISLAM
Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut
tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang
telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Inti dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT
sebagaimana firman-Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya :
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam wajib tunduk, patuh
dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta wajib
pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata
hanya untuk mencari ridho-Nya.
Dengan demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan
KAM. Jadi, definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam,
sehingga norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam
terminologi HAM.
Berdasarkan definisi ini, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya, namun harus dengan cara yang dibenarkan Syariat
Islam, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja
yang disukainya, namun tetap dalam batasan makanan dan minuman yang
dihalalkan Syariat Islam.
Karenanya, dalam Islam ditegaskan bahwa perzinahan dan LGBT serta aneka
penyimpangan sex lainnya, merupakan pelanggaran KAM, sehingga bukan
merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan minuman haram,
semuanya pelanggaran KAM, dan bukan merupakan HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Islam statis, tidak berubah-ubah.
Artinya, apa-apa yang diharamkan atau dihalalkan Syariat Islam akan
tetap berlaku hingga Hari Akhir. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai
HAM mau pun KAM oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka dari dulu hingga
kini, bahkan sampai masa yang akan datang, akan tetap menjadi HAM dan
KAM.
Dengan demikian, keharaman khamar (miras) yang mencakup segala jenis
minuman atau makanan yang memabukkan. Dari bahan apa pun dibuatnya,
apakah dari kurma, anggur atau buah lainnya, termasuk dari bahan kimia
sekali pun. Dan apa pun bentuknya, apakah cair, gas, asap, jeli, bubuk,
pil, serta bentuk lainnya. Dan bagaimana pun cara mengkonsumsinya,
apakah diminum, dimakan, dikunyah, dioleskan, disedot, atau pun
disuntikkan. Dan apa pun namanya, apakah Alkohol, Arak, Bir, Rum, Vodka,
Cognac, dan sebagainya. Dan berapa pun kadar penggunaannya, banyak atau
pun sedikit. Serta kapan dan dimana pun minumnya, apakah di musim panas
mau pun dingin, atau apakah di negeri Arab mau pun di negeri China atau
di negeri lainnya. Maka sejak dulu hingga sekarang, bahkan sampai yang
akan datang, khamar adalah haram, dan bukan merupakan HAM, serta sampai
kapan pun tidak akan pernah menjadi HAM.
Jadi jelas, bahwa HAM dalam pandangan Islam memiliki kaidah dan batasan
yang jelas, sehingga tidak akan pernah berbenturan dengan KAM.
ISLAM vs DEKLARASI HAM PBB
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi
217 A (III) tentang Deklarasi Universal HAM. Secara umum resolusi
tersebut cukup baik, karena didorong oleh semangat penegakan keadilan
bagi seluruh umat manusia. Namun karena dasar pemikiran resolusinya
bersumber dari HAM Barat, maka sejumlah item yang diatur di dalamnya
bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Pasal 16 resolusi tersebut adalah "Pasal Kawin Bebas", karena menjamin
kebebasan bagi pria mau pun wanita yang sudah dewasa dengan hak yang
sama untuk menikah tanpa batasan agama dan tanpa peran Wali Nikah.
Padahal dalam pandangan umum Islam diharamkan "Kawin Beda Agama" dan
"Kawin Tanpa Wali".
Dan Pasal 18 resolusi tersebut adalah "Pasal Murtad", karena menjamin
kebebasan bagi setiap orang untuk berganti agama apa pun, termasuk yang
murtad dari Islam. Padahal dalam Islam setiap muslim diharamkan untuk
keluar dari Islam, bahkan diancam Hukuman Mati.
Pasal 21 resolusi tersebut adalah "Pasal Demokrasi" karena mewajibkan
setiap negara untuk menerapkan "Demokrasi" dengan memberikan kedaulatan
sepenuhnya kepada keinginan rakyat dan mewajibkan Pemilu di setiap
negara. Padahal Islam bukan Demokrasi, dan Demokrasi bukan Islam.
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2200
A (XXI). Dalam Resolusi ini ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik yang menekankan kembali tentang "Pasal Kawin Bebas" dan
"Pasal Murtad" serta "Pasal Demokrasi", yaitu pada Pasal 1, 2, 23 dan
25. Sedang Pasal 6 kovenan ini masih mengakui dan membolehkan
pemberlakuan Hukuman Mati, namun kemudian dibatalkan melalui Protokol
Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk
penghapusan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB
No. 44 / 128 tertanggal 15 Desember 1989. Padahal dalam Islam ada
pemberlakuan Hukuman Mati dalam masalah Qishash mau pun Hudud, seperti
hukuman mati bagi pembunuh dan zani muhson serta murtad.
HAM ANAK dan WANITA
Majelis Umum PBB mengeluarkan sejumlah resolusi tentang Anak dan Wanita
atas dasar semangat untuk memberi perlindungan terhadap anak dan wanita.
Tentu ini merupakan suatu upaya terpuji yang harus didukung semua
pihak. Namun sayang, lagi-lagi dasar pemikiran resolusinya bersumber
dari HAM Barat, sehingga sering bertentangan dengan ajaran agama,
khususnya agama Islam.
Salah satu resolusi PBB terkait Anak adalah Konvensi Hak Anak yang
ditetapkan Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 44 / 25 tertanggal 20
November 1989. Pasal 20 resolusi ini secara eksplisit mengakui eksitensi
Kafalah dalam Hukum Islam. Dan Pasal 24 resolusi ini secara rinci
menjamin perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi sex
dan pornografi. Ini merupakan hal yang sangat bagus dari resolusi ini.
Hanya saja, resolusi ini tidak memberi batasan jelas tentang definisi
anak.
Pasal 1 resolusi ini menetapkan bahwa permulaan usia dewasa seseorang,
baik pria mau pun wanita, adalah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum
yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai
lebih awal. Dasar penetapan usia dewasa dalam pasal ini tidak jelas,
dan semakin bias dengan pengecualian yang juga tidak memiliki indikator
kedewasaan yang pasti. q
Dalam Islam dasar dan indikator kedewasaan sesorang sangat jelas dan
pasti. Islam menetapkan bahwa kedewasaan bagi pria ditandai dengan salah
satu dari dua perkara, yaitu "mimpi" yang menyebabkan junub pertama
atau usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Sedang kedewasaan bagi
wanita ditandai juga dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "Haidh"
yang pertama atau juga usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah.
Penetapan ini sangat sederhana tapi jelas dan terang, sehingga mudah
diidentifikasi oleh siapa pun.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34 / 180 tanggal 18 Desember 1979
tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan disebutkan antara lain : Pelarangan kawin dan hamil di bawah
usia 18 tahun dan Pelarangan Khitan bagi anak perempuan. Padahal dalam
Islam, soal usia perkawinan kembali kepada ketetapan Islam tentang usia
dewasa sebagaimana tersebut di atas, sehingga siapa telah dewasa maka ia
berhak untuk kawin dan hamil sesuai aturan Syariat Islam.
Ada pun soal Pelarangan Khitan Perempuan, PBB mengambil sampel "Khitan
Fir'aun" yang marak di Benua Afrika, yaitu "Pemotongan Alat Kelamin
Wanita", lalu menggeneralisir bahwa semua bentuk khitan dilarang.
Padahal "Khitan Islam" berbeda dengan "Khitan Fir'aun". Dalam Khitan
Islam cukup hanya menghilangkan selaput (jaldah / colum / praeputium)
yang menutupi klitoris, bukan melukai atau memotong klitorisnya, apalagi
memotong alat kelaminnya. Bahkan dalam Islam sudah dianggap cukup hanya
dengan melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris
(frenulum klitoris).
Selain itu, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) tertanggal
16 Desember 1966, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ternyata juga
ada soal perempuan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Pasal 3 kovenan tersebut adalah "Pasal Kesetaraan
Gender", karena menjamin persamaan hak dan kewajiban antara pria dan
wanita dalam semua aspek kehidupan, termasuk waris. Selain itu, masih
ada Deklarasi dan Program Aksi di Wina pada tanggal 25 Juni 1993 tentang
Hak Anak dan Wanita yang secara rinci menetapkan soal "Kesetaraan
Gender". Padahal Islam tidak mengenal "Kesetaraan Gender", tapi Islam
memperkenalkan "Keserasian Gender". Ada pun Hukum Waris dalam Islam
sudah final.
AWASI DAN KOREKSI HAM PBB
Dengan fakta dan data tersebut di atas tentang kontroversialnya berbagai
Resolusi HAM PBB, maka umat Islam di seluruh dunia berkewajiban untuk
selalu melakukan pengawasan dan pengkajian terhadap setiap Resolusi HAM
PBB. Apalagi disana masih banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai
Resolusi HAM PBB yang mesti disorot, dikaji dan dikoreksi agar tidak
dijadikan senjata untuk membombardir Syariat Islam.
Tanggung jawab negara-negara Islam, khususnya yang tergabung dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan menjadi anggota PBB, tentu lebih
besar lagi. Mereka mesti secara pro aktif mengikuti semua agenda sidang
PBB, dan harus menyoroti secara cermat semua draf rencana keputusan PBB
yang berpotensi menabrak ajaran agama Islam, serta wajib menolak segala
keputusan PBB yang dipaksakan dan bertentangan dengan Syariat Islam.
Jangan sebaliknya, negara-negara Islam di PBB hanya menjadi "skrup"
untuk menguatkan visi misi PBB yang "sangat Barat". Apalagi sampai ikut
mengkampanyekan resolusi PBB yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya, pada tahun 2006 di Indonesia terbit Surat Edaran (SE) Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI No : HK. 00.07.1.31047 a tertanggal
20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas
Kesehatan, dengan alasan menyakitkan dan membahayakan serta merusak
organ reproduksi perempuan, sekaligus memenuhi tuntutan WHO sebagai
Badan Kesehatan Dunia di PBB. SE tersebut disebar-luaskan ke semua RS
dan Puskesmas, sehingga hampir semua RS menolak permintaan Khitan Anak
Perempuan. Akibatnya, selama SE tersebut berlaku banyak anak perempuan
umat Islam di Indonesia yang tidak dikhitan.
Lalu umat Islam Indonesia protes keras, karena Khitan dalam Islam bagi
pria mau pun wanita adalah bagian dari Fithrah, sehingga merupakan Syiar
Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pun pada tahun 2008
mengeluarkan Fatwa No. 9A tentang Khitan tertanggal 7 Mei 2008,
sekaligus merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan Fatwa
tersebut sebagai acuan dalam masalah Khitan Perempuan.
Akhirnya, pada tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636
/ MENKES / PER / XI / 2010 tentang Sunat Perempuan yang mencabut SE
Larangan Sunat Perempuan, sekaligus menerima rekomendasi MUI dengan
menyetujui pelaksanaan Sunat Perempuan. Namun sayangnya Peraturan Menkes
RI tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik secara meluas, sehingga
sampai saat ini masih ada sejumlah RS yang menolak Khitan Anak
Perempuan.
Selain negara-negara Islam yang harus pro aktif mengawasi berbagai
resolusi PBB, maka umat Islam pun harus pro aktif juga mengawasinya.
Apalagi secara perorangan atau organisasi pun diperkenankan untuk
menyampaikan laporan ke PBB, baik usul dan saran mau pun kritik dan
protes. Untuk itu ada sejumlah alamat yang bisa digunakan sesuai dengan
bidang laporannya. Khusus masalah HAM bisa dialamatkan ke : Centre for
Human Rights - United Nations Office of Geneva, 1211 Geneva 10,
Switzerland.
HAM INDONESIA
Fakta sejarah membuktikan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menolak
segala bentuk penjajahan di atas muka Bumi, lebih dulu ada dari pada
Piagam PBB yang lahir tanggal 24 Oktober 1945. Artinya, Indonesia lebih
dulu memiliki Deklarasi Universal HAM ketimbang PBB.
Namun demikian, aturan HAM secara rinci di Indonesia baru lahir pasca
Reformasi 1998 melalui Amandemen UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28 dan
Pasal 28 huruf a s/d j tentang HAM. Lalu dilanjutkan dengan lahirnya UU
No. 33 Th. 1999 tentang HAM yang sekaligus menjadi dasar pendirian
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang disingkat Komnas HAM.
Penegakan HAM di Indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung.
Namun sayang sejuta sayang, pendefinisian HAM dalam UUD dan UU HAM yang
ada masih merujuk kepada definisi HAM Barat, sehingga pada prakteknya
menjadi bertolak belakang dengan pilar-pilar bangsa dan negara
Indonesia. Buktinya, Komnas HAM di Indonesia banyak melakukan tindakan
yang bertentangan dengan Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dua pilar utama negara.
Pertama, Pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan
aliran-aliran sesat lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai
ajaran Islam. Padahal sesuai dengan UU Penodaan Agama yang tertuang
dalam Penpres No.1 / 1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP Pasal 156a tentang
larangan Penodaan Agama, mestinya semua aliran sesat yang telah menodai
dan menistakan agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi
dan dilegitimasi dengan pembelaan hingga tingkat internasional. Apalagi
sesuai Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam
Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) Pasal 18 ayat 3 yang
memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan hukum yang
diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau
moral umum, atau hak asasi dan kebebasan orang lain. Ditambah lagi
dengan putusan Sidang PBB di Jenewa - Swiss pada tanggal 26 Maret 2009
bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.
Kedua, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu
terlihat dalam pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga
yang merupakan icon LGBT Internasional. Bahkan Komnas HAM pernah
terlibat langsung dalam rangkaian acara "Kontes Waria" di Hotel Bumi
Wiyata Jl. Margonda Raya, Depok - Jawa Barat, pada tanggal 30 April
2010. Dan kini sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui
para Aktivis LGBT ikut Fit and Proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota
Komnas HAM. Padahal, LGBT itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan
bertentangan juga dengan empat pilar utama negara dan bangsa Indonesia,
yaitu : Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Ketiga, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan
Anti Perda Syariah dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih
menolak diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas serta
pelestarian budaya dan adat istiadat. Padahal, pemberlakuan Syariat
Islam hanya kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada
minoritas non muslim, sehingga tidak ada itu tindak diskriminatif yang
merugikan kalangan non muslim. Bahkan manakala mayoritas diwajibkan
tunduk dan patuh kepada Syariat Islam, justru minoritas akan
terlindungi, karena Syariat Islam adalah Syariat Rahmat untuk semesta
alam. Soal adat dan budaya, Islam selalu memberi ruang pelestarian dan
pengembangannya selama tidak melanggar norma agama. Ada pun yang
melanggar mesti diluruskan, seperti adat telanjang tanpa pakaian di
depan umum, itu bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan. Nah,
keterbelakangan itu harus dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan
agar tetap primitif.
Fakta dan Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa paradigma Komnas
HAM murni merupakan paradigma HAM Barat. Bahkan ada indikasi lain yang
menunjukkan bahwa Komnas HAM memang sudah jadi Antek Barat, antara lain
adalah tingginya tingkat pembelaan Komnas HAM terhadap "kasus-kasus
kecil" yang dialami minoritas seperti kasus HKBP di Ciketing Bekasi dan
Gereja Yasmin di Bogor, namun terhadap "kasus-kasus besar" seperti
pembantaian ribuan umat Islam dan pembakaran ratusan Masjid di Ambon,
Poso, Sambas dan Sampit, ternyata Komnas HAM tuli, bisu dan buta :
"Shummun Bukmun 'Umyun".
KESIMPULAN
Definisi HAM yang benar adalah definisi yang diberikan Islam, yaitu
bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir
sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah
bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan
oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim terbanyak dan
terbesar di dunia yang memiliki empat pilar negara yang berjiwakan
Piagam Jakarta dengan inti Ketuhanan Yang Maha Esa dan Syariat Islam,
maka tidak ada pilihan lain dalam soal HAM, kecuali hanya boleh
mendefinisikan HAM sesuai dengan definisi Islam.
Karenanya, ke depan para Aktivis Islam dari berbagai Ormas Islam harus
mampu merebut semua posisi keanggotaan di Komnas HAM, sehingga mampu
menjadikan HAM dan KAM sebagai ruh dan jiwa dalam semua program dan
aktivitas Komnas HAM.
Demikianlah, urgensi dan importensi pembahasan tentang HAM dalam Wawasan
Kebangsaan Indonesia, agar sejalan dengan pilar-pilar negara dan
kebangsaan lainnya yang telah dipaparkan selama ini dalam kolom Wawasan
Kebangsaan di Suara Islam ini. Semoga bisa menambah wawasan dan memberi
wacana baru yang menyegarkan serta membuka jalan kebenaran.
Hasbunallaahu Wa Ni'mal Wakiil, Ni'mal Maulaa Wa Ni'man Nashiir. Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata illaa Billaahil ‘Alyyil adzim. [slm/fpi]
Sumber : Salam-Online.COM